BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Status gizi balita
merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian
bahwa berbagai masalah gizi lebih banyak terjadi pada kelompok masyarakat di
daerah pedesaan yang mengkonsumsi bahan pangan yang kurang baik jumlah maupun
mutunya. Sebagian besar dari masalah tersebut disebabkan oleh berbagai faktor
salah satunya adalah faktor ekonomi. (Harnanto Wiryo, 2002).
Dan status gizi balita
dapat juga dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya yaitu kurangnya wawasan
dan pengetahuan ibu tentang gizi yang disebabkan rendahnya tingkat pendidikan
ibu yang juga memberi andil yang besar terhadap status gizi buruk balita. Pengetahuan
dan pemahaman ibu yang terbatas akan mempengaruhi pola pemenuhan gizi balita
sehingga penerapan pola konsumsi makan belum sehat dan seimbang. (Harnanto Wiryo, 2002).
Bayi dan balita merupakan
kelompok masyarakat yang paling peka terhadap kekurangan gizi. Dari data yang
telah terkumpul di negara-negara maju dengan jelas menunjukkan bahwa ada
hubungan yang nyata antara tingkat sosial ekonomi dengan berat badan bayi yang
dilahirkan. Mereka lahir dari ibu dengan status ekonomi yang rendah biasanya
menghasilkan bayi premature atau bayi berat lahir rendah (BBLR) yang mempunyai
berat badan 300-400 gram lebih ringan dari bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu
yang cukup ekonominya. (Harnanto Wiryo,
2002).
Menurut WHO (world health organization) telah
diperkirakan 55% kematian anak disebabkan oleh malnutrisi bahkan pada balita
berpengaruh pada perkembangan otak yang 80% proses pertumbuhanya terjadi pada
masa itu dan resiko meningkat tajam pada kondisi buruk atau KEP (kurang energi
protein)
Sementara menurut pengelompokan
prevalensi gizi kurang organisasi kesehatan dunia (WHO), Indonesia tergolong sebagai negara
dengan status gizi tinggi pada tahun 2004. Karena 5.119.935 balita dari
17.983.244 balita Indonesia
(28,47%) termasuk dalam kelompok gizi kurang dan gizi buruk.
Pada saat ini sebagian
besar atau 50% penduduk Indonesia
dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umunya disebut
kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi ini sering terluputkan dari
penglihatan atau pengamaan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada
tingginya angka kematian bayi, angka kematian balita serta rendahnya umur
harapan hidup. (Roy Tjong,2005).
Data United National Children’s Fund (UNICEF) tahun 1999 menunjukkan
10-12 juta (50-69,7%) anak balita di Indonesia (4 juta diantaranya dibawah satu
tahun) berstatus gizi sangat buruk dan mengakibatkan kematian. Malnutrisi
berkelanjutan meningkatkan angka kematian anak setiap tahun diperkirakan 7%
anak balita Indonesia (sekitar 300.000 jiwa) meninggal, ini berarti setiap 2 menit
terjadi kematian satu anak balita dan 17.000
anak (60%) diantaranya akibat gizi buru. Dari seluruh anak 4-24 bulan yang
berjumlah 4,9 juta di Indonesia
sekitar seperempat sekarang berada dalam kondisi kurang gizi.
Menurut Rahmad (2007) yang
mewakili komisi perlindungan anak Indonesia, angka kematian bayi di Indonesia
memang turun, namun untuk status gizi buruk Indonesia hanya sedikit lebih baik
dari India. Data UNICEF tahun 2007 menyatakan ada 8,3% balita di Indonesia yang
berstatus gizi buruk akibat asupan gizi kurang dan perubahan pola asuh keluarga
yang tidak terpantau dengan baik.
Di tinjau dari HDI (Human Development Index) atau indeks
pembangunan manusia sampai tahun 1997 terus mengalami perbaikan. Namun krisis
ekonomi yang lalu telah menyebabkan peringkat Indonesia turun pada urutan ke
110 pada tahun 2002, pada tahun 2003 menurun pada peringkat 112 dari 175
negara. Sedangkan yang menjadi faktor penentu HDI adalah pendidikan kesehatan
dan ekonomi yang erat kaitanya dengan status gizi masyarakat (Roy Tjong,2005).
Kondisi ini menyebabkan
kesehatan anak di Indonesia
tergolong rendah dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN. Ini merupakan dampak
dari krisis moneter yang berkepanjangan sejak tahun 1997 yang menyebabkan
kenaikan harga bahan pangan disertai kenaikan pendapatan yang membuat
masyarakat sulit menenuhi standar gizi anaknya (Santoso, 2005)
.
Berdasarkan hasil
penelitian Santoso (2005) di Yogjakarta program perbaikan gizi dalam rangkan
mendukung visi-visi “Indonesia
sehat 2010” bertujuan untuk meningkatkan produktifitas sumber daya manusia
(SDM). Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah meningkatkan kemandirian
masyarakat dalam upaya peningkatan status gizi dan pelembagaan keluarga mandiri
sadar gizi. Meningkatkan keadaan gizi masyarakat untuk mencapai gizi seimbang
dengan menurunkan jumlah penduduk yang mengalami gizi buruk dan gizi lebih, meningkatkan keanekaragaman konsumsi
pangan untuk memantapkan swasembada pangan. (Santoso,
2005)
Di Indonesia
penanggulangan gizi buruk telah lama dilakukan dan penurunan prevalensinya
sudah cukup memuaskan, tetapi 4 (empat) masalah gizi utama yaitu KEP (Kurang
Energi Proetin) pada balita kurang vitamin A pada balita gangguan akibat yodium
dan anemia. Prevalensi gizi kurang (BB menurut umur) 29,5% tahun 1998 menjadi
27,5% pada tahun 2003. Prevalensi gizi buruk sebesar 7,6 % pada tahun 2000
menjadi 8,3% pada tahun 2003, prevalensi kurang vitamin A sub klinis pada
balita (Serum Rectional < 20 49/ di darah) 50% pada tahun 2003 (Depkes RI, 2000)
Penyebab utama kurang gizi
pada balita adalah kemiskinan sehingga akses pangan anak terganggu. Penyebab
lain adalah infeksi (diare), ketidaktahuan orang tua karena kurang pendidikan
sehingga pengetahuan gizi rendah atau faktor tabu makanan dimana makanan
bergizi ditabukan dan tidak boleh dikonsumsi anak balita. Peran keluarga dalam
penanggulangan gizi menjadi perhatian bagi penyusunan program. Sebab masalah
gizi buruk pada balita dapat berakibat fatal misalnya dapat terjadi gagal
tumbuh (growth retardation). Dan
menurut Ari Tohong (1995) bahwa empat dari sepuluh balita mengalami pertumbuhan
fisik dan tingkat kecerdasan akibat kekurangan gizi engeri protein (KEP).
Masalah ini perlu dipecahkan karena kenyataannya banyak keluarga dengan status
ekonomi rendah dengan pendidikan yang kurang (terutama di pedesaan) yang belum
paham tentang gizi yang lebih baik untuk keluarga dan balita, karena setiap
balita dengan gizi buruk memiliki resiko kehilangan IQ 10-13 point.
Menurut data sensus 1999
di Indonesia
terdapat sekitar 23 juta anak balita. Dari jumlah tersebut sekitar 1,8 juta
anak (8%) menderita gizi buruk, menurut ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor
(IPB) Prof. Dr.Ir.Ali Khomsun, MS parameter status gizi yang umum digunakan di
Indonesia adalah berat badan menurut umur. Parameter ini dipakai menyeluruh di
Posyandu. Di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) telah disediakan Kartu Menuju
Sehat (KMS) yang juga bisa digunakan untuk memperediksi status gizi anak
berdasarkan kurva KMS. Perhatikan dulu umur anak, kemudian plot berat badan
dalam KMS. Bila anak masih dalam batas garis hijau maka status gizi baik, bila
di bawah garis merah maka status gizi buruk.
Menurut Depkes 2007 ada
28.202 balita berstatus gizi baik sementara 8.369 balita bergizi kurang
sehingga akan terus dilakukan program makanan tambahan untuk memulihkan status
gizi balita tersebut.
Kepala subbidang
kewaspadaan gizi Departemen Kesehatan Tatang S. Falah kepada media menargetkan
pada tahun 2009
angka gizi kurang dan angka gizi
buruk berkurang hingga 20%. Hal ini
berdasarkan survei sosial ekonomi nasional 2005 yang menyebutkan angka gizi
kurang dan gizi buruk adalah 28% dari jumlah anak balita Indonesia. Sepanjang tahun 2006
menurut Direktur Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Ina Herawati.
Pemerintah baru menangani 19.567 kasus gizi buruk, jumlah tersebut menurun jauh
dibandingkan tahun 2005 yang mencapai 76.178 kasus. Namun, survei sosial
ekonomi nasional 2005 yang dilakukan badan pusat statistik menyebutkan
estiminasi gizi buruk hingga 2006 mencapai sekitar 8,8% dari jumlah anak balita
di Indonesia. Ini berarti ada sekitar 1,5 juta anak yang diperkirakan mengalami
gizi buruk.
Data Dinas Kesehatan
provinsi Sumatera Selatan (2007) menunjukkan dari total 193.782 anak dan anak
balita di Sumsel sebanyak 2.061 anak balita digolongkan gizi buruk dan 20.278
anak balita kurang gizi.
Berdasarkan data dari
Dinas Kesehatan di Kabupaten Ogan Komering Ulu tahun 2008 terdapat 31.791
balita dengan status gizi buruk 1105 balita (3,47%).
Sedangkan untuk di Puskesmas
Sukaraya Kecamatan Baturaja Timur Kabupaten Ogan Komering Ulu terdapat 6.427 balita
dengan status gizi buruk 292 balita (4,54%). Khususnya di desa Tanjung Baru
terdapat 617 balita yang mengalami status gizi buruk sebanyak 59 balita (9,5%)
Berdasarkan data diatas, penulis
berminat untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dan
Status Ekonomi Keluarga Terhadap Status Gizi Balita Di Desa Tanjung Baru
Wilayah Kerja Puskesmas Sukaraya Kecamatan Baturaja Timur Kabupaten Ogan
Komering Ulu Tahun 2009.
B.
Rumusan
Masalah
Belum Diketahuinya
Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dan Status Ekonomi Keluarga dengan Status Gizi
Balita Di Desa Tanjung Baru Wilayah Kerja Puskesmas Sukaraya Kecamatan Baturaja
Timur Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2009.
C.
Pertanyaan
Penelitian
1.
Bagaimana Gambaran Tingkat Pendidikan Ibu Dan
Status Ekonomi Keluarga Dengan Status Gizi Balita Di Desa Tanjung Baru Wilayah Puskesmas
Sukaraya Kecamatan Baturaja Timur Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2009?
2.
Adakah hubungan tingkat pendidikan ibu dengan
status gizi balita Di Tanjung Baru wilayah Kerja Puskesmas Sukaraya Kecamatan
Baturaja Timur Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2009?
3.
Adakah hubungan status ekonomi keluarga dengan
status gizi balita Di Tanjung Baru wilayah Kerja Puskesmas Sukaraya Kecamatan
Baturaja Timur Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2009?
D.
Tujuan
Penelitian
- Tujuan Umum
Diketahuinya Hubungan Tingkat
Pendidikan Ibu dan Status Ekonomi Keluarga dengan Status Gizi Balita Di Desa
Tanjung Baru Wilayah Kerja Puskesmas Sukaraya Kecamatan Baturaja Timur Kabupaten
Ogan Komering Ulu Tahun 2009.
- Tujuan Khusus
a.
Diketahuinya hubungan tingkat pendidikan ibu
dengan status gizi balita Di Tanjung Baru wilayah Kerja Puskesmas Sukaraya
Kecamatan Baturaja Timur Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2009?
b.
Diketahuinya hubungan status ekonomi keluarga
dengan status gizi balita Di Tanjung Baru wilayah Kerja Puskesmas Sukaraya
Kecamatan Baturaja Timur Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2009?
E.
Manfaat
Penelitian
Penyusunan Karya Tulis
Ilmiah ini diharapkan mempunyai beberapa manfaat antara lain:
- Bagi institusi pendidikan
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi referensi dan menambah bahan kepustakaan di institusi
program diploma III keperawatan Baturaja dan dapat menjadi bahan pengajaran
teori penelitian selanjutnya.
- Bagi institusi kesehatan / Puskesmas
Dapat menjadi sarana
informasi bagi institusi kesehatan dalam rangka peningkatan program gizi,
terutama gizi balita serta masukan untuk menjalankan Puskesmas selanjutnya,
khususnya di wilayah kerja Puskesmas Sukarya Kecamatan Baturaja Timur Kabupaten
Ogan Komering Ulu.
- Bagi peneliti
Untuk menyelesaikan tugas
akhir dari pendidikan diploma III Keperawatan dan dari penelitian ini penulis
dapat mengetahui bahwa status ekonomi merupakan salah satu indikator penting
dalam pemantauan status gizi balita. Di samping juga penulis tentunya
memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang nyata di masyarakat.
F.
Ruang
Lingkup Penelitian
Dilihat dari latar
belakang diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang hubungan tingkat
pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga dengan status gizi balita. Subjek
penelitian adalah seluruh keluarga yang mempunyai balita. Dan lokasi penelitian
ini dilaksanakan di Desa Desa Tanjung Baru Wilayah Kerja Puskesmas Sukaraya
Kecamatan Baturaja Timur Kabupaten Ogan Komering Ulu. Variabel yang diteliti
adalah tingkat pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga yang berhubungan
dengan status gizi balita di Puskesmas Sukaraya Kecamatan Baturaja Timur
Kabupaten Ogan Komering Ulu tahun 2009.
0 comments:
Post a Comment