Wednesday 1 May 2013

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PETANI TERHADAP HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO (PBK)





PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PETANI TERHADAP HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO (PBK)  Conopomorpha cramerella Snellen DI KABUPATEN TABANAN

Suharyanto, Rubiyo dan Jemmy Rinaldy
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali


ABSTRAK

Penggerek Buah Kakao (PBK) merupakan salah satu hama utama tanaman kakao, dimana pada tingkat serangan berat kehilangan hasil dapat mencapai 80 persen. Pengetahuan terhadap persepsi petani dan praktek pengendalian PBK yang diterapkan saat ini perlu diidentifikasi untuk meyakinkan bahwa paket pengendalian PBK akan dapat diterima oleh petani. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi beberapa faktor yang berkaitan dengan perkembangan hama PBK dalam aspek pengetahuan, sikap dan perilaku petani.  Penelitian dilakukan di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan yang merupakan salah satu sentra produksi kakao di Bali dan juga merupakan daerah terserang PBK. Data primer didapat dengan wawancara langsung terhadap 30 petani responden dengan menggunakan kuisioner. Variabel yang digunakan untuk mengetahui perilaku petani dalam pengendalian PBK anntara lain ; kultur teknis, panen sering, sanitasi, penyarungan buah dan penyemprotan insektisida. Analisis data dengan menggunakan statistik sederhana, skoring dan interpretasi kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat serangan PBK berkisar antara 8,13 – 53,14%.  Perilaku petani terhadap hama PBK tergolong kategori sedang, dengan nilai skor 10,64.  Panen sering, sanitasi lingkungan, pemangkasan perlu ditingkatkan untuk pengendalian PBK. Namun demikian upaya yang dilakukan petani seperti sarungisasi, pemangkasan sudah dilakukan walaupun belum optimal.

Kata kunci :  pengetahuan, sikap, perilaku, penggerek buah kakao (PBK).


PENDAHULUAN

Kakao merupakan salah satu komoditas utama yang diandalkan subsektor perkebunan di Bali yang mengalami perkembangan cukup pesat.  Pada tahun 2000 luas areal kakao 6.564 ha dengan produksi 4.424.367 ton, tetapi pada tahun 2004 luas areal mencapai 8.769 ha dengan produksi mencapai 6.123.869 ton. Kabupaten Tabanan merupakan salah satu sentra produksi kakao di Bali dengan luas areal 3.149 hektar dengan produksi mencapai 2.273.860 ton dimana hampir keseluruhan merupakan perkebunan rakyat. Usahatani kakao di Kabupaten Tabanan sampai saat ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 425.214 orang atau 17.094  KK (Anonim, 2004a). Perbaikan harga beberapa tiga tahun terakhir tidak sepenuhnya bias dinikmati oleh petani kakao di Indonesia, karena petani menghadapi masalah hama penggerek buah kakao (PBK), sehingga produktivitas kebun mereka umumnya turun. Hama PBK telah menyerang hampir seluruh perkebunan kakao di Indonesia termasuk juga Bali.  Oleh karena itu perlu upaya pengendalian hama PBK jika tidak ingin megikuti jejak Malaysia yang pada saat ini perkebunan kakaonya dapat dikatakan telah memasuki ambang kepunahan (Herman, 2004).
Tanaman kakao merupakan inang berbagai spesies serangga, salah satu diantaranya adalah hama penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella terutama pada pola tanam monokultur karena terjadinya perubahan keseimbangan alami. Serangan hama PBK merupakan ancaman yang serius bagi kelangsungan usaha perkebunan kakao karena belum ditemukan pengendalian hama yang efektif. Sejarah telah mencatat bahwa hama PBK telah tiga kali menghancurkan perkebunan kakao di Indonesia yaitu tahun 1845 di daerah Minahasa, tahun 1886 sepanjang pantai utara Jawa tengah hingga Malang, Kediri dan Banyuwangi serta tahun 1958 di beberapa perkebunan di Jawa (Roesmanto, 1991). PBK merupakan hama kakao yang sangat berbahaya dan sekarang menimbulkan permasalahan internasional terutama upaya pencegahan meluasnya areal serangan dan teknologi pengelolaannya. Penggerek buah kakao mempunyai potensi merusak yang cukup besar dan hingga sekarang masih sulit untuk dikendalikan. Kerusakan akibat serangan PBK dapat menurunkan produksi hingga 80 persen biji kakao kering (Wardoyo, 1980; Atmawilata, 1993). Saat ini, penyebaran hama PBK hampir menyeluruh di provinsi penghasil kakao termasuk Bali (Anonim, 2004b).
PBK merupakan hama yang paling penting karena sulit dideteksi keberadaannya dan sulit dikendalikan, karena selama stadium larva berada dalam buah kakao. Mengingat semakin luasnya penyebaran hama PBK dan besarnya kerugian yang ditimbulkannya, maka perlu segera diupayakan metode penanggulangan yang efektif dan efisien. Strategi pengelolaan PBK di Indonesia berpedoman pada konsep PHT.  Teknik pengelolaan PBK yang digunakan didasarkan pada keadaan serangan PBK, yaitu daerah bebas serangan, daerah serangan terbatas dan daerah serangan luas, serta melihat kondisi pertumbuhan dan umur tanaman kakao (Sulistyowati, 1997).
Pengetahuan terhadap persepsi petani dan praktek pengendalian PBK yang diterapkan saat ini perlu diidentifikasi untuk meyakinkan bahwa paket pengendalian PBK akan dapat diterima oleh petani. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi beberapa faktor yang berkaitan dengan perkembangan hama PBK dalam aspek pengetahuan, sikap dan perilaku petani.


METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra produksi kakao di Kabupaten Tabanan dan juga merupakan lokasi yang terserang hama penggerek buah kakao (PBK). Pengumpulan data primer dilakukan pada bulan Juli 2006 melalui wawancara langsung terhadap 30 petani responden dengan menggunakan kuisioner.  Penentuan responden dilakukan melalui random sampling.  Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik petani, pengetahuan, sikap dan perilaku petani selama ini dalam hal pengelolaan hama penggerek buah kakao (PBK). Analisis data dengan menggunakan statistik sederhana, skoring dan interpretasi kualitatif terhadap jawaban yang dikemukakan oleh petani responden. Untuk mengetahui tingkat perilaku petani dalam pengendalian hama PBK diukur dalam skor yang meliputi (1) kultur teknis: pemangkasan, pemupukan, pohon penaung; (2) panen sering; (3) sanitasi (4) penyarungan buah dan (5) penyemprotan insektisida.  Adapun nilai skor yang digunakan adalah: (1) hampir tidak pernah; (2) kadang-kadang; dan (3) sering. Skor yang diperoleh dari masing-masing item pertanyaan dijumlahkan sehingga diperoleh skor total  Tingkat Perilaku Petani dalam pengendalian PBK dikategorikan menjadi tiga kelas, yaitu tingkat perilaku penerapan rendah, sedang, dan tinggi. Pengkategorian menggunakan rumus interval (Dajan, 1996):
Dimana :
I    =   Interval kelas
J    =   Jarak antara skor maksimum dan skor minimum
K =   Banyaknya kelas yang digunakan

Tabel 1.  Deskripsi Strategi Pengendalian Hama PBK dan Skala Penilaiannya di Kec. Selemadeng, Kab. Tabanan, 2006
No
Strategi pengendalian
Pilihan jabawan responden
Tinggi
Sedang
Rendah
1
Kultur teknis, meliputi pangkasan pemeliharaan, pangkasan produksi, pemupukan dan pohon penaung.
Sering
Kadang-kadang
Hampir tidak pernah
2
Panen sering, dilakukan terhadap buah masak, masak fisiologis, dan buah terserang PBK. Interval panen 5-7 hari. Buah langsung dibelah dan diambil bijinya pada hari yang sama.
Sering
Kadang-kadang
Hampir tidak pernah
3
Sanitasi, pembenaman kulit buah dan plasenta dengan kedalaman sekitar 20 cm.
Sering
Kadang-kadang
Hampir tidak pernah
4
Penyarungan buah dilakukan pada umur 3 bulan yang diperkirakan panjang 8-10 cm, menggunakan kantong p;lastik,kertas, koran atau kertas semen.
Sering
Kadang-kadang
Hampir tidak pernah
5
Penyemprotan insektisida dilakukan terutama jika serangan PBK dengan criteria berat sudah mencapai 30%, dengan bahan aktif golongan piretroid sintetik, pada buah kakao berumur 3 bulan atau panjang sekitar 8-10 cm.
Sering
Kadang-kadang
Hampir tidak pernah

Total skala
11,7-15,0
8,4-11,6
5,0-8,3


HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi dan Petani Responden
Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg merupakan salah satu sentra produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Tabanan dengan ketinggian antara 600 – 700 mdpl. Sebagian besar (>80%) lokasi penelitian merupakan daerah berbukit dengan topografi kemiringan yang sangat bervariasi. Komoditas perkebunan merupakan andalan utama mata pencaharian bagi  masyarakatnya, dengan komoditas utama kelapa, kakao, kopi dan cengkeh.  Dalam melakukan usahatani perkebunan umumnya petani menerapkannya dengan pola tumpangsari atau diversivikasi dengan beberapa tanaman perkebunan dalam satu hamparan dengan berbagai pola tumpangsari. Sesungguhnya para petani sudah berfikir rasional dengan asumsi memaksimalkan penggunaan sumberdaya lahan, mngurangi kegagalan usaha dna efisiensi produksi.
Secara umum rata-rata umur petani responden adalah 39,77 dengan kisaran 17 – 79 tahun, hal ini mengindikasikan bahwa umur petani di lokasi penelitian sangat beragam yang berarti masih terdapat generasi muda yang berminat pada bidang pertanian khususnya perkebunan, walaupun umur petani didominasi usia diatas 40 tahun.  Tingkat pendidikan formal merupakan faktor penting untuk mengetahui tingkat sumberdaya manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional pola berfikirnya, dan daya nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk meningkatkan pengetahuan, yang selanjutnya akan menanamkan pengertian sikap dan mempengaruhi kemampuan petani untuk dapat bertindak yang lebih rasional sehingga semakin tinggi penerimaannya terhadap suatu inovasi.
Luas lahan pengusahaan berkisar antara 0,35 – 7,92 dengan rata-rata pengusahaan 2,36 hektar yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Populasi tanaman dominan adalah tanaman kakao (1.064,94), kopi robusta (351,48), cengkeh (109,94) dan kelapa (94,63) (Tabel 2). Sedangkan komoditas lain yang juga ditanam adalah pisang, durian, manggis, panili dan lain-lain. Dengan menanam berbagai macam tanaman dalam satu areal, konsekuensinya adalah produktivitas masing-masing tanaman tidak akan maksimal tentunya, namun disisi lain dapat mengurangi kegagalan usaha.
Hasil analisis tingkat serangan PBK di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tingkat serangan PBK masuk dalam kategori sedang dengan tingkat serangan berkisar antara 8,13 – 53,14 persen. Namun demikian tingkat serangan ini akan dengan cepat meningkat dan menyebar ke wilayah lain apabila tidak dilakukan tindakan pengendalian, hal ini didukung oleh kondisi kebun yang kurang terawat dan lembab sehingga mempercepat penyebaran hama PBK.

Tabel 2.  Karakteristik Lokasi dan Petani Responden di Kecamatan Selemadeng, Kab. Tabanan, 2006.
Karakteristik
Minimum
Maksimum
Rata-rata
1. Umur responden (th)
17
79
39,77
2. Pendidikan
0
17
5,84
3. Luas Lahan (ha)
0,35
7,92
2,36
 a. Kakao
   Populasi (phn)
   Produksi (kg)
   Produktivitas (kg/ha)

100,00
125,00
80,65

3750,00
4688,00
917,43

1064,94
1324,93
546,47
    b. Kelapa
   Populasi (btr)
   Produksi (btr)
   Produktivitas (btr/ha)

5,00
75,00
55,97

500,00
7500,00
1584,51

94,63
1419,44
594,98
    c. Kopi
  Populasi (phn)
  Produksi (kg)
  Produktivitas (kg/ha)

10,00
13,00
14,44

1500,00
1875,00
1086,96

351,48
420,20
200,87
   d. Cengkeh
   Populasi (phn)
   Produksi (kg)
   Produktivitas (kg/ha)

10,00
62,00
30,10

515,00
3193,00
930,00

109,94
681,62
284,49

Pengembangan kakao pada umumnya menghadapi kendala laju peningkatan biaya produksi yang jauh lebih cepat daripada laju kenaikan harga produk, resiko serangan hama, penyakit dan musim yang terkadang tidak mendukung produksi. Konsekuensinya adala pekebun harus menyesuaikan penggunaan faktor input pada tingkat yang optimum untuk memperoleh keuntungan maksimum. Hal ini beresiko menurunkan kesehatan tanaman dan tingkat produksi. Resiko kegagalan panen akan lebih besar apabila pola usaha yang diterapkan adalah monokultur, yaitu pola usaha yang hanya mengandalkan hasil kakao dari unit yang diusahakannya. Diversifikasi usahatani tanaman perkebunan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan petani perkebunan karena dapat mengurangi resiko kegagalan usaha apabila hanya menanam satu jenis tanaman saja. Dimana fluktuasi harga produksi tanaman perkebunan dapat disiasati dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman perkebunan dengan mengatur pola tanamnya dan yang terpenting tidak berkompetisi satu sama lainnya dalam kompetisi hara maupun cahaya. Dalam melakukan diversifikasi horizontal adalah cukup luas, karena tanaman ini toleran penaungan (Prabowo, 1997; Suharyanto et al., 2004).

Bioekologi Hama PBK dan Gejala Kerusakan
Serangga dewasa hama PBK berupa ngengat (moth), berukuran kecil (panjang ±7 mm), dan termasuk ordo Lepidoptera. Ngengat berwarna cuklat dengan pola zig zag berwarna putih sepanjang sayap depan. Ukuran antenna lebih panjang dari tubuhnya dan mengarah ke belakang. Ngengat aktif terbang, kawin dan meletakkan telur pada malam hari. Pada siang hari ngengat bersembunyi pada tempat yang terlindung dari sinar matahari, yaitu di cabang-cabag horizontal. Ngengat betina meletakkan telur hanya pada permukaan buah kakao. Buah kakao yang disukai adalah yang mempunyai alur dalam dan panjangnya lebih dari 9 cm. Lama hidup ngengat betina 5 – 8 hari dan setiap betina mampu menghasilkan telur sebanyak 100 – 200 butir.  Telur berbentuk oval dengan panjang 0,45 – 0,50 mm, lebar 0,25 – 0,30 mm, pipih dan berwarna orange pada saat diletakkan. Larva stadium telur antara 2 – 7 hari (Sulistyowati, 1997).
Larva yang baru menetas berwarna putih transparan dengan panjang ±1 mm. Larva langsung menggerek ke dalam buah dengan memakan kulit buah, daging buah dan saluran makanan ke biji (plasenta). Lama stadium larva 14 –18 hari, terdiri atas 4 – 6 instar (Ooi et al., 1987). Pada pertumbuhan penuh panjangnya mencapai 12 mm berwarna putih kotor sampai hijau muda. Menjelang berkepompong larva membuat lubang keluar (diameter 1 mm) pada kulit buah. Sebelum menjadi kepompong larva membentuk kokon. Kepompong dapat melekat pada buah, daun, serasah kakao, cabang, ranting, kotak atau karung tempat buah, bahkan kendaraan yang digunakan untuk mengangkut hasil panen. Kokon berbentuk oval berwarna putih kekuningan, pupa berwarna coklat, lama stadium kepompong 5 – 8 hari.
Lebih lanjut Sulistyowati (1997) menyatakan bahwa buah kakao yang terserang PBK umumnya menunjukkan gejala masak lebih awal, yaitu belang kuning hijau atau kuning jingga. Buah yang terserang dapat berkembang secara normal sampai masak, tetapi pada saat dibelah akan tampak biji yang saling melekat dan berwarna kehitaman. Serangan PBK yang terjadi pada saat buah masih muda akan mengakibatkan kerusakan yang cukup berat karena biji kakao melekat kuat pada kulit buah dan biji saling melekat satu sama lain. Biji tidak berkembang sehingga ukurannya menjadi kecil dan tidak bernas (keriput), sehingga akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitasnya. Hasil survai oleh Puslit Kopi dan Kakao menunjukkan bahwa serangan PBK menyebabkan kehilangan produksi hingga 80%.

Pengetahuan Petani Terhadap PBK
Pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya wawasan petani yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannnya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK tergolong dalam kategori sedang (46,67%), rendah (40%) dan tinggi (13,33%). Rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK tentunya akan berdampak terhadap tingkat serangan dan perilaku petani dalam mengendalikan hama tersebut. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan petani responden yang rata-rata berpendidikan sekolah dasar (63%). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sudarta (2002) pengetahuan petani sangat membantu dan menunjang kemampuannya untuk mengadopsi teknologi dalam usahataninya dan kelanggengan usahataninya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi di bidang pertanian juga tinggi, dan sebaliknya. Dengan demikian langkah awal yang harus dilakukan dalam hal pengendalian hama PBK adalah sosialisasi memberikan pemahaman kepada petani tentang bioekologi dan gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh hama PBK beserta dampak kerugian apabila tanaman kakao sampai terserang berat. Setelah itu dilanjutkan dengan metode pengendalian hama PBK dengan pendekatan prinsip PHT.

Tabel 3.   Tingkat Pengetahuan Petani dalam Pengendalian Hama PBK di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, 2006.
No
Klasifikasi/skor
Rata-Rata Skor
Jumlah Petani
Persentase (%)
1.
Rendah ( 5.0 - 8.3 )
6.74
12
40.00
2.
Sedang ( 8.4 - 11.6 )
9.63
14
46.67
3.
Tinggi ( 11.7 - 15.0 )
13.96
4
13.33

Jumlah

30
100.00

Dengan demikian pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan.  Dengan adanya pengetahuan yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya perubahan perilaku sebagaimana yang dikatakan oleh Ancok (1997), bahwa adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan mnyebabkan seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut. Niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan, sangat tergantung pada apakah seseorang mempunyai sikap positif terhadap kegiatan itu.  Adanya niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan suatu kegiatan akhirnya dapat menentukan apakah kegiatan itu betul-betul dilakukan. Dengan demikian petani yang mempunyai wawasan positif terhadap pengendalian PBK, maka dapat mendorong untuk melakukan pengendalian PBKpada usahataninya.

Sikap Petani Terhadap Hama PBK
Sikap petani terhadap inovasi teknologi sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman lapangan mereka. Sikap petani responden dalam melakukan pengendalian hama PBK masing-masing bersikap positif/setuju (30%), netral/ragu-ragu (50%) dan negatif/tidak setuju (20%). Hal ini mengindikasikan bahwa petani masih ragu-ragu terhadap metode pengendalian hama PBK yang selama ini mereka ketahui. Untuk itu diseminasi ataupun penyuluhan pertanian yang disertai dengan praktek lapang mutlak untuk dilakukan guna untuk lebih meyakonkan petani bahwa metode pengendalian PBK dengan pendekatan PBK sesungguhnya dapat mengurangi tingkat serangan PBK walaupun tidak sampai menghilangkan sama sekali, karena seperti diketahui hama PBK sangat mudah sekali sangat mudah sekali untuk menyebar dari satu lokasi ke lokasi lain.

Tabel 4.   Pendapat Responden terhadap Sikapnya dalam Melakukan Pengendalian Hama PBK, di Kecamatan Selemadeng, Kab. Tabanan 2006.
No
Klasifikasi/skor
Rata-Rata Skor
Jumlah Petani
Persentase (%)
1.
Negatif ( 5.0 - 8.3 )
7,34
9
30,00
2.
Netral ( 8.4 - 11.6 )
10,26
15
50,00
3.
Positif ( 11.7 - 15.0 )
12,82
6
20,00

Jumlah

30
100,00

Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan.  Sikap tidak selamanya tetap dalam jangka waktu tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain melalui interaksi sosial.  Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain. Individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi didalam diri individu (Azwar, 2000).  Sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya.

Perilaku Petani dalam Pengendalian PBK
Tingkat perilaku petani dalam pengendalian hama PBK di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg Kabupaten Tabanan, rata-rata termasuk dalam kategori sedang (63,33%) dengan nilai skor 10.64 (Tabel 5). Hal ini diduga erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan petani dalam halpengendalian hamam PBK yang didominasi dalam kategori sedang (46,67%).  Sesungguhnya sudah hampir semua petani responden telah mengetahui beberapa metode dalampengendalian hama PBK yang umumnya didapat dari Petugas Penyuluh Lapangan melalui kegiatan SLPHT. Salah satu diantaranya adalah sarungisasi buah kakao, yang berarti memberikan selubung perlindungan terhadap buah kakao. Selubungnya dapat menggunakan kantong plastik yang ujung bagian atasnya diikatkan pada tangkai buah, sedangkan ujung buah tetap terbuka. Dengan penyelubungan buah tersebut, hama tidak bias meletakkan telurnya pada kulit buah sehingga buah akan terhindar dari geretan larva. Namun karena pada tahun ini produksi kakao rendah selain disebabkan oleh serangan hama dan penyakit, juga tak lain karena perubahan iklim (musim hujan panjang) sehingga petani menelantarkan dan kurang merawat kebun kakaonya.

Tabel 5.   Perilaku Petani dalam Pengendalian Hama PBK di Desa Mundeh Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, 2006.
No
Klasifikasi/skor
Rata-Rata Skor
Jumlah Petani
Persentase (%)
1.
Rendah ( 5.0 - 8.3 )
8.12
8
26.67
2.
Sedang ( 8.4 - 11.6 )
10.64
19
63.33
3.
Tinggi ( 11.7 - 15.0 )
14.04
3
10.00

Jumlah

30
100.00

Selanjutnya Soekartawi (1988) mengatakan, perilaku penerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor dari luar lingkungan. Faktor dari dalam diri meliputi umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko, fatalisme, aspirasi dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup). Termasuk faktor lingkungan antara lain: kosmopolitas, jarak ke sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan prasarana dan sarana dan proses memperoleh sarana produksi. Sedangkan untuk mencegah meluasnya serangan PBK ke wilayah lain menurut Sjafaruddin et al (2000), diperlukan upaya penyuluhan yang intensif mengenai berbagai aspek tentang hama PBK. Selain itu sistem tataniaga dan pemasaran yang melibatkan pedagang pengumpul pada berbagai tingkatan merupakan vektor penyebaran PBK, sehingga perlu diwaspadai untuk mencegah meluasnya serangan ke wilayah lain.


KESIMPULAN DAN SARAN

1)       Tingkat pengetahuan petani dalam hal pengendalian hama PBK umumnya termasuk dalam kategori sedang (46,67%). Hal ini tentunya berkaitan dengan tingkat pendidikan petani responden yang umumnya hanya berpendidikan Sekolah Dasar. Sikap petani rata-rata  (50%) bersikap netral dalam pengendalian hama PBK dengan rata-rata nilai skor 10,64.  Sedangkan perilaku petani dalam pengendalian hama PBK masuk dalam kategori sedang (63,33%) dan hanya 10% saja yang termasuk dalam kategori tingkat perilaku tinggi.
2)       Terdapat korelasi antara tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pengendalian hama PBK, dimana makin tinggi pengetahuan petani maka cenderung akan bersikap positif, dan makin positif sikap petani maka cenderung akan berperilaku baik dalam praktek pengendalian hama PBK.
3)       Untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku petani dalam pengendalian hama PBK hal yang perlu diperhatikan adalah mengintensifkan sosialisasi/penyuluhan tentang metode pengendalian hama PBK dengan pendekatan PHT disertai dengan praktek lapang atau disertai dengan pengujian langsung di lapangan, agar petani dapat langsung melihat hasilnya.


DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Anonim. 2004a. Data Bali Membangun 2004. Pemerintah Provinsi Bali. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Denpasar
Anonim. 2004b. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.. 328 hal.
Atmawilata, O. 1993. Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) Suatu Ancaman Terhadap Kelestarian Perkebunan Kakao di Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Jember. No. 15.
Azwar, Saifuddin, 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Cetakan IV. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Dajan, A. 1996.   Pengantar Metode Statistik.  Jilid II . Penerbit LP3ES.  Jakarta.
Herman. 2004. Kakao Indonesia Dikancah Perkakaoan Dunia. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Bogor. 6 hal.
Ooi, P,A,C., L.G. Chan, K.C. Khoo., C.H. Teoh., Md.J.Mamat, C.T. Ho and G.S. Lim 1987. Introduction to the cocoa pod borer. P.1-6. In P,A,C. Ooi, , L.G. Chan, Khoo K.C., Teoh C.H., Md.J.Mamat, Ho C.T. and Lim G.S. (Eds). Management of Cocoa Pod Borer. The Malaysian Plant Protection Society, Kuala Lumpur.
Prabowo, A.A. 1997. Diversifikasi Pada Perkebunan Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. Jember. 13(3),  hal 165 – 184.
Roesmanto, J. 1991. Kakao : Kajian Sosial Ekonomi. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta. hal 165 .
Sjafaruddin, M., G. Kartono., R. Djamaluddin., Rubiyo, E. Sutisna dan D. Sahara. 2000. Status dan Upaya Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 122 – 129.
Soekartawi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia (UI-press). Jakarta. 137 hal.
Sudarta, W. 2002. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Terpadu. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol 2 No.1. Januari 2002. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. hal 31 – 34.
Suharyanto, Suprapto dan Rubiyo. 2004. Analisis Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Tanaman Perkebunan Berbasis Kelapa di Kabupaten Tabanan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 146 – 154.
Sulistyowati, E. 1997. Prospek Pemanfaatan Tanaman Tahan Dalam Pengelolaan Hama Penggerek Buah Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia .Jember. 13(3), hal 204 - 212.
Wardoyo. 1990. The Cocoa Pod Borer A Major Hidrance to Cocoa Development. Indonesian Agricultural Research Development Journal. Jakarta.  2(1) : 1-4.

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes